Minggu, 13 April 2014

Pontianak Kota Tanpa Bayangan


 Pontianak Kota Tanpa Bayangan
Pontianak, mendengar nama kota tersebut pastilah kita teringat akan Tugu Khatulistiwa. Tugu yang dibangun untuk menandai 0 derajad, 0 menit, 0 detik pada tahun 1928. Setiap Tahunnya terjadi peristiwa penting di sekitar Tugu Khatulistiwa, yakni Kulminasi Matahari. Terjadi antara tanggal 21-23 Maret dan 21-23 September. Apa itu Kulminasi Matahari? Kenapa Pontianak menjadi Kota Tanpa Bayangan?

Kulminasi matahari, yakni fenomena alam ketika Matahari tepat berada di garis khatulistiwa. Pada saat itu matahari tepat berada di atas kepala sehingga menghilangkan semua bayangan benda-benda di permukaan bumi. Peristiwa inilah yang menyebabkan bayangan Tugu Khatulistiwa dan benda-benda disekitarnya menghilang selama beberapa detik.

Event kulminasi matahari dirayakan setiap tahunnya, masyarakat dan wisatawan berbondong-bondong pergi ke sekitar tugu untuk melihat fenomena menakjubkan tersebut.

Wali Kota Pontianak, Sutarmidji, berharap kegiatan peringatan kulminasi yang biasanya rutin digelar oleh Pemkot, ke depannya diharapkan dihelat kepada pihak lain, seperti Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Association of Indonesia Tours and Travel Agencies (ASITA), Ikatan Bujang Dare, maupun pihak-pihak lainnya di luar Pemkot.

“Silakan menjadi penyelenggara dari kegiatan ini, Pemkot hanya menjadi fasilitator. Ini dimaksudkan supaya semuanya sesuai keinginan dan kondisi pasar pariwisata yang ada,” ujarnya.

Selain itu, lanjut Midji, pihaknya juga sudah meminta kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk menciptakan suatu alat atau model peraga supaya masyarakat bisa menyaksikan detik-detik kulminasi dengan mata telanjang dan lebih nyaman. “Kalau alat yang ada saat ini hanya bisa disaksikan dari dua sisi. Seharusnya bisa disaksikan dari segala sisi sehingga semua bisa menyaksikan detik-detik matahari berkulminasi,” tuturnya.

Rencananya, Pemkot Pontianak akan menata kawasan Tugu Khatulistiwa menjadi ruang publik yang nyaman bagi masyarakat maupun wisatawan yang datang dengan membangun taman. “Saya berharap ini menjadi salah satu aset wisata yang bisa menjadi unggulan di Kota Pontianak ini,” imbuhnya.

Dia meminta fenomena alam yang istimewa ini hendaknya jangan hanya diperingati sekadar seremonial, tetapi terus dilakukan upaya menggali dan mengkaji lebih dalam terjadinya fenomena alam tersebut. “Misalnya di daerah lain sulit untuk membuat telur bisa berdiri tegak, tetapi di sini begitu mudah melakukannya. Begitu juga putaran air berlawanan dengan arah jarum jam. Artinya, ada rahasia alam yang maha dahsyat yang hingga saat ini para ahli masih belum mampu untuk mengungkapnya. Tetapi saya yakin suatu saat rahasia alam itu akan terungkap secara ilmiah,” paparnya. (Sumber: travel.okezone.com)

Sementara itu, berdasarkan sumber lain, mengenai telur yang berdiri tegak bukanlah disebabkan kulminasi matahari. Menurut Profesor Astronomi Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan memang benar dalam kulminasi matahari dapat mengakibatkan hilangnya bayangan matahari. Namun menurut pria yang menjabat sebagai Kepala LAPAN ini, telur dapat berdiri bukan diakibatkan kulminasi matahari.

"Telur berdiri di kota Pontianak bukan karena gaya dari kulminasi matahari,"ujar Thomas Djamaluddin kepada detikcom.

Thomas menjelaskan telur berdiri bisa jadi karena tertahan oleh bentuk permukaan atasnya. Serta perbedaan kedua ujung telur tidak signifikan dapat membuat telur dapat berdiri.

"Ada juga tegaknya telur saat perayaan suatu komunitas saat kulminasi matahari pada tanggal 21 Maret dan 23 September, tapi itu hanyalah mitos, itu tanpa alasan ilmiah yang kuat. Mereka hanya mengkait-kaitkan saja," jelasnya. (Sumber: detik.com)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar